Mie Instan Pembangkit Rindu
Karya : Asri Fatimah
Tanpa sengaja aku melihat deretan mie instan terbungkus plastik hijau berejejer rapi di etalase toko itu,. Mie Instant yang sudah langka, jarang sekali kutemukan lagi di warung warung dekat rumahku. Bahkan aku pernah keliling mini market di kota suamiku, tak lain hanya untuk mencari mie instan berbungkus hijau yang beberapa waktu lalu, menurut suamiku aku sudah seperti “predator mie”, julukan yang ngeri tapi bikin geli, masak iya, bukannya predator itu semacam makhluk buas yang suka memangsa ya? Tapi aku tidak tersinggung, dia hanya belum tahu bahwa mie itu ada nilai historinya. Mungkin rasanya tidak seberapa, tidak seistimewa mie mie yang sedang booming karena rasa uniknya ditambah dukungan iklan oppa oppa korea itu, tapi bagiku setiap memakan mie instan berbungkus hijau itu ada rasa yang tidak dapat dinikmati oleh lidah orang lain, ada aroma yang tak akan sampai di hidung orang lain, yaitu aroma kerinduan. Mie instant ini selalu membuatku kangen pada Bapak.
Suara bapak di ruang tengah sedikit memecah konsentrasiku saat menyusun perencanaan mengajarku esok hari. Sebagai mahasiswa semester hampir akhir, aku jadi sangat sering praktek mengajar di sekolah-sekolah terdekat, itu membuatku jadi lebih sering pula begadang menyelesaikan administrasi kelas berupa perencanaan pembelajaran yang akan dilakukan di setiap pertemuan. Tidak jarang aku tidur hingga dini hari untuk menyelesaikan segalanya agar sempurna. Juga seperti kali ini, lagi-lagi Bapak sudah bangun untuk Tahajud, tapi aku masih berkutat dengan printerku yang berisik. Semacam rutinitas pula bagi beliau, jika melihat lampu kamarku masih menyala, selesai tahajud selalu langsung meyeduh dua bungkus mie, satu untuk beliau sendiri, dan yang satunya lagi beliau antarkan ke kamarku. Ah, Bapak, kadang-kadang ada sedikit kesal melihat perhatian, tepatnya kebiasaan Bapak yang satu ini. Kesal karena jelas kan, terlalu sering mengkonsumsi mie instant itu kurang bagus untuk kesehatan, ditambah lagi dengan makan menjelang tidur seperti ini tentu akan membuat program dietku berantakan. Tapi sungguh, dibalik kekesalan yang kurasa, mie instant rebus kala lapar akibat energy terforsir itu nikmatnya luar biasa, dan memang begadang hingga jam jam begini seringkali membuat lambungku agak perih. Kudapan buatan Bapakku ini tentu menjadi obat yang sangat lezat, juga berhasil menstabilkan segalanya.
Suami menyenggol bahuku, kode agar segera bergegas, sontak membuatku terkejut membuyarkan kenanganku dengan Bapak beberapa tahun lalu ketika masih kuliah. Kembali terfokus pada apa yang kulihat barusan, mie instant hijau kesukaan Bapak. Dengan girang setengah berlari aku menuju toko itu, bukan karena takut kehabisan, toh sepertinya itu bukan barang yang laku keras hingga akan segera habis, entahlah mungkin luapan ekspresi kebahagiaan. Barangkali seperti anak kecil yang kehilangan mainan, mencari-cari ke sana kemari tak ketemu, sedih hampir pasrah, lalu tanpa diduga dia menemukan mainannya persis sempurna dihadapannya. Tanpa berlama-lama, aku membeli sekerdus mie dengan berpesan pada penjualnya agar kerdus jangan terkena air, penyok, apalagi rusak. Tidak kupedulikan tatapan penjualnya yang merasa agak aneh melihat antusiasme yang mungkin tergambar jelas di raut mukaku. Di kepalaku hanyalah bayangan Bapak di kampung halaman, mungkin sedang menyeruput kuah mie instant, yang menurutnya bumbunya hambar dan tanggung, tidak seenak mieberbungkus hijau. Sungguh Bapak memang penggemar berat mie instant, dan aku yakin lidah beliau masih mendambakan mie instan yang ada di tanganku ini. Yes, senang rasanya berhasil mendapatkannya setelah melalui petualangan yang panjang, mie instant kesukaan Bapak. Mie instant pembangkit rinduku pada beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar