Jauh sebelum mempelajari modul 1.1 mengenai refleksi filosofi pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, teori pendidikan yang paling saya ingat yaitu teori tabula rasa dimana anak lahir di dunia bagaikan meja lilin atau kertas putih yang bersih.
Ki Hajar Dewantara |
Berbeda dengan pandangan filosofis pendidikan Ki Hajar Dewantara. Seorang anak dilahirkan bagaikan selembar kertas putih yang sudah tertulis penuh, dijelaskan bahwa tulisan-tulisan tadi merupakan tulisan yang suram atau kabur, belum nyata. Menurut pandangan ini dikatakan bahwa Pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram berisi hal baik. Agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan jahat hendaknya dibiarkan jangan sampai menebal dan makin nampak.
Berdasar pandangan Ki Hajar Dewantara ini, pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak. Pendidik seperti diibaratkan seperti tukang kebun kehidupan, yang merawat dan menjaga tanaman yang ia tanam sesuai dengan kondisi yang dimiliki oleh setiap anak. Setiap anak memiliki potensi yang harus dikembangkan melalui perlakuan sesuai kebutuhannya sehingga menjadi tanaman-tanaman unggul meskipun beragam.
Setelah memahami pandangan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara ini, tentu terjadi perubahan pandangan saya terhadap anak dalam mengembangkan potensinya yang beragam. Jika semula kita percaya bahwa potensi dan kepribadian anak seutuhnya karena pengaruh lingkungan di sekitar anak, melalui pandangan filosofi Ki Hajar Dewantara kita akan memahami bahwa setiap anak pada dasarnya telah memiliki kepribadian dan potensi sejak lahir, kita sebagai pendidik hanya mampu mengarahkan potensinya semerdeka mungkin agar mampu berkembang dan berguna untuk dirinya juga masyarakat. Kita sebagai pendidik juga hendaknya mampu memahami bahwa setiap anak memiliki tabiat asli, tabiat asli itu mampu menguasai diri jika tidak dibimbing, dididik dan dibiasakan sejak dini. Untuk membiasakan karakter baik maka sangat perlu adanya pendidikan karakter atau budi pekerti untuk anak.
Orang yang memiliki kecerdasan budipekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan tentang setiap tindakannya. Inilah yang kita sebut sebagai manusia yang beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan kita. Jadi disimpulkan bahwa pendidikan itu memiliki peran yang kuat untuk mengalahkan dasar-dasar dari jiwa manusia dengan tabiat yang jahat, meskipun tabiat jahat itu tak dapat lenyap sama sekali, karena sudah bersatu dengan jiwa.
Penerapan pemikiran Ki Hajar Dewantara sudah semestinya kita terapkan dalam sekolah atau kelas yang kita ampu. Beberapa hal yang bisa kita lakukan yaitu menurut saya melalui beberapa hal berikut:
1. Memberikan ruang kepada peserta didik untuk mengenali jati dirinya sebagai makhluk Tuhan yang memiliki potensi beragam. Potensi tersebut dapat diarahkan melalui kegiatan intrakurikuler (Pendidikan Agama, PPKN dll). intrakurikuler (berkunjung ke tempat edukasi, pembiasaan-pembiasaan baik, dll) dan ekstrakurikuler (Pramuka, Seni, Kegiatan keagamaan dll)
2. Berkaitan dengan Budi pekerti (olah cipta, rasa, karsa dan karya) hendaknya kita mampu mendesain pembelajaran secara holistik sebagai sebuah pendidikan yang menajamkan pikiran (Cipta), menghaluskan perasaan (rasa) dan memperkuat kemauan (Karsa) menjadi sebuah Karya yang bermanfaat dalam masyarakat. Karenanya, sudah barang tentu dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga penilaian pun dilakukan secara integratif dan menyeluruh. Hal ini juga sesuai dengan kurikulum 2013 melalui pelaksanaan 4 Kompetensi inti yang meliputi kompetensi spiritual, sosial, pengetahuan dan keterampilan.
3. Menerapkan kegiatan pembelajaran berkelompok (cooperative learning). Melalui kegiatan belajar berkelompok, siswa belajar untuk saling menghargai, toleran, gotong royong, peduli terhadap lingkungan sekitar, dimana ini merupakan hal baik yang harus dimunculkan pembelajaran di sekolah. Guru tentunya menuntun atau memfasilitasi agar iklim pembelajaran di sekolah lebih berorientasi pada kolaborasi, bukan kompetisi sehingga menunjang proses dan keberhasilan sesama.
4. Menjunjung nilai agama dan moralitas. Pendidikan di sekolah haruslah memupuk nilai keimanan, nilai moral dan kejujuran. Agama dan moralitas tidak bisa dipisahkan karena kesempurnaan manusia terwujud jika ia telah memenuhi kewajiban moralnya sesuai martabat kemanusiaan juga telah menuanaikan kewajibannya sebagai makhluk dari Sang Pencipta.
Inilah sintesis materi refleksi filosofi pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara yang telah teramu dalam modul 1.1 pada LMS Pendidikan Calon Guru Penggerak. Masukan dan saran sangat diharapkan demi tercapainya tujuan yang diharapkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar